^ Back to Top
 

Investor menahan diri, target IPO tak maksimal

6/30/2015 10:29:13 AM

JAKARTA. Perusahaan anyar yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) tak berhasil menuai hasil maksimal. Lirik saja aksi penawaran saham perdana alias initial public offering (IPO) yang tak mencapai target maksimal. Bahkan beberapa dari perusahaan memangkas jumlah saham yang dilepas.

Produsen komponen otomotif PT Garuda Metalindo Tbk, misalnya. Perusahaan ini akan melepas saham perdana sebanyak 468,75 juta atau 20% dari total modal ditempatkan dan disetor penuh.

Namun, harga IPO Garuda Metalindo hanya di Rp 550. Ini adalah harga level bawah dari penawaran awal yakni di Rp 550-Rp 800. Akibatnya, Garuda Metalindo cuma bisa meraup dana sekitar Rp 257,81 miliar dari target maksimal Rp 375 miliar.

Sebelumnya, ada PT Anabatic Technologies Tbk yang harus memangkas target saham dilepas dari semula 30% menjadi 20%. Lebih celaka lagi, harga saham IPO Anabatic tak maksimal, yakni di Rp 700 per saham dari harga penawaran di Rp 650-Rp 800. Dus, Anabatic hanya mengantongi dana IPO Rp 282,5 miliar dari target maksimal di Rp 514,2 miliar.

Kondisi yang sama juga dialami oleh PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) dan PT PP Properti Tbk (PPRO). Emiten ini tak bisa menuai hasil maksimal dari penawaran saham perdana di BEI.

Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, mengatakan, gagalnya target IPO lantaran pasar saham masih tertekan. Akibatnya, minat investor menanam modal di pasar saham juga berkurang. "Hingga akhir tahun prospek perusahaan yang akan IPO masih terus tertekan karena pasar saham masih diwarnai masalah Yunani dan ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed," proyeksi dia.

Jika perusahaan tetap nekat melakukan IPO tahun ini, harus siap menerima konsekuensi peminat kurang banyak. "Harga akan di batas bawah dan setelah melantai di bursa harga sahamnya tidak akan bergerak banyak," kata Hans.

Target IPO tak tercapai

Dengan kondisi ini, David N Sutyanto, Analis First Asia Capital, meragukan bahwa  BEI bisa memenuhi target 32 emiten baru yang masuk bursa saham tahun ini.  Bahkan sampai paruh  pertama tahun ini, jumlah emiten saham baru yang masuk bursa belum mencapai setengah target IPO. Sejak awal tahun sampai Juni 2015, baru delapan emiten yang masuk BEI. Itu pun menghitung dua emiten yang relisting.

Kedua analis menilai, permasalahan saat ini sangat fundamental. Yakni suku bunga tinggi dan asing tidak mau menempatkan dana dalam jangka waktu lama. David menjelaskan, kebanyakan dana asing yang masuk ke pasar saham datang dari Amerika Serikat (AS).

Jika suku bunga Bank Sentral AS atau The Fed naik, dana itu akan kembali ditarik dan masuk ke AS sehingga investor yang masuk hanya untuk jangka pendek. Lagi pula, tren saat ini, volatilitas pasar saham masih tinggi. "Kalau tren harga saham masih berpotensi turun, mengapa harus masuk sekarang," papar dia.

Saat bersamaan, suku bunga di Indonesia masih cukup tinggi, sehingga investor lebih memilih menempatkan dana mereka  di deposito. "Itu yang menyebabkan emisi  kurang diserap, jarang yang oversubscribed," ujar David.

Selama likuiditas masih ketat dan suku bunga tetap tinggi, David menganalisis, penyerapan saham perdana akan kecil. Padahal, sejatinya, semua perusahaan yang menggelar penawaran saham perdana memiliki prospek jangka panjang menarik.

Toh, dalam situasi seperti saat ini, bukan berarti tak ada saham yang prospektif. David melihat, saham sektor perbankan mungkin bisa menuai minat lebih besar di pasar saham karena net interest margin (NIM) bank masih cukup gede. Suku bunga acuan juga terjaga di level tinggi. Di sisi lain, ekspansi emiten sektor lain terhambat, karena suku bunga tinggi dan kesulitan likuiditas.

Editor: Yudho Winarto